Oleh : Cakra Baso Ma’dika/Pembelajar Ekonomi
MM, OPINI – Ada jutaan barang dan jasa yang diproduksi dalam kurun waktu tertentu, dari jutaan barang tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkannya kedalam 17 sektor lapangan usaha, salah satunya adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Porsinya dalam struktur PDB cenderung menurun sekitar 13,57% (kuartal III tahun 2023) dari seluruh sektor. Pertumbuhan sektor pertanian juga lebih kecil dibandingkan dengan seluruh pertumbuhan semua sektor (pertumbuhan ekonomi), pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2023 tumbuh sekitar 4,94% sedangkan pertumbuhan sektor pertanian hanya tumbuh sebesar 1,46% sangat jauh dibawah pertumbuhan ekonomi.
Selain pertumbuhan ekonomi turun dari kuartal sebelumnya yang berada di angka 5,17%, hal ini juga mengindikasikan pertumbuhan ekonomi juga kurang berkualitas karena pertumbuhan sektor yang fundamental (sektor pertanian) sekurang-kurangnya harus setara dengan pertumbuhan ekonomi.
Kemudian juga promlematika kelaparan merupakan isu yang menghantui dunia terutama negara kita sendiri.
Secara khusus di negara Asean, Indonesia berada diurutan kedua kelaparan tertinggi setelah Timor Leste. Ada sekitar 17,6 juta penduduk Indonesia yang mengalami kelaparan dan sekitar 16 juta orang yang kekurangan gizi (2023).
Maka dari itu ketahanan pangan merupakan isu strategis yang harus didorong oleh pemerintah. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi negara sampai setiap individu. Pangan tidak hanya berbicara tentang kebutuhan beras atau nasi melainkan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan untuk kebutuhan manusia (UU No. 18/2012).
Untuk itu kedaulatan pangan dan kemandirian pangan menjadi hal yang paling krusial untuk menjadi arah pembangunan ekonomi nasional, mengingat jumlah penduduk Indonesia ke-empat terbesar di dunia, namun kinerja dari sub sektor tanaman pangan sangat memprihatikan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan sub sektor tanaman pangan mengalami kontraksi -1,47% pada kuartal III 2023. Jika pertumbuhannya dilihat dari jauh dari tahun 2011-2022 rata-rata pertumbuhan sub sektor tanaman pangan hanya 1,43 % per tahunnya jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi (4,58%) dan sektor pertanian secara umum 3,38%.
Masalah Ketahanan Pangan
Ada beberapa masalah utama ketahanan pangan, yang menjadi penghambat kedaulatan dan kemandirian pangan. Seperti masalah produksi, produksi tanaman pangan yang berfluktuasi dipengaruhi oleh iklim dan cuaca yang tidak menentu.
Seperti yang terjadi hari ini fenomena El Nino yang memicu kekeringan di berbagai daerah sehingga membuat petani mengalami gagal panen, banyak komoditi pertanian yang kekurangan air sehingga petani sangat resah karena bingung harus berbuat apa. Kemudian juga, persoalan distribusi dari ke daerah atau pulau yang tidak dapat terdistribusi dengan baik, karena faktor akses jalan maupun transportasi yang tidak memadai, sehingga terkadang pemerintah mengeluarkan kebijakan impor komoditi pertanian dari luar negeri karena dianggap harganya lebih murah dan aksesnya lebih dekat.
Tapi berbeda dengan kondisi hari ini, negara produsen pangan seperti Thailand, Vietnam, India dan beberapa negara lainnya yang melarang melakukan ekspor karena masalah ketidak pastian ekonomi dunia, konflik regional di beberapa wilayah di dunia hari ini membuat negara-negara dibelahan dunia semakin khawatir mengenai krisis pangan dunia.
Sekalipun negara produsen tersebut melakukan ekspor, itu merupakan komoditas yang surplus, tapi itu dengan harga yang sangat tinggi, seperti misalkan negara Thailand yang harga berasnya terus meningkat dan negara tersebut menjadi acuan harga beras dunia. Parahnya, sumber impor beras yang terbesar bagi kita pada tahun 2023 adalah dari negara Thailand.
Indonesia merupakan negara agraris tapi neraca ekspor dan impor pertanian kita mengalami defisit, nilai ekspor pada tahun 2022 sebesar US$ 7,26 Miliar sedangkan Nilai impor komoditas pertanian sebesar US$ 12,39 Miliar, kita lebih melakukan impor dari pada mengekspor.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Pemerintah mengimpor beras sebanyak 429.207 ton pada tahun 2022 dan berencana mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada 2023 karena alasan banyak petani yang gagal panen akibat kekeringan bahkan, jumlah impor pada tahun 2018 lebih besar sekitar 2,2 juta ton. Kebijakan ekonomi yang strategis di sektor pertanian belum maksimal sehingga pasokan kebutuhan pangan dalam negeri belum mencukupi padahal masih banyak wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan.
*Produksi Pangan dan Konsumsi Beras
Produksi tanaman pangan Indonesia semakin hari semakin sangat memprihatinkan, cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tanaman pangan tergolong kedalam beberapa komoditi seperti : Padi, ubi kayu, ubi jalar, kedelai dan jagung.
Produksi komoditi ubi kayu sebanyak 14,95 juta ton (2022) terjadi penurunan dari tahun sebelumnya 15,7 juta ton (2021) bahkan Indonesia pernah memproduksi 24 juta ton pada tahun 2012. Sedangkan produksi komoditi ubi jalar 1,51 juta ton (2022) sedikit meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mampu memproduksi sebanyak 1,4 juta ton, namun produksinya jauh lebih sedikit dari tahun 2012 yang mencapai 2,4 juta ton. Kemudian produksi komoditi kedelai sebanyak 302 ribu ton (2022), sedikit meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 205.019 ton (2021), tapi awal pemerintahan presiden Jokowi pada tahun 2014 Indonesia masih memproduksi 955 ribu ton.
Produksi tanaman padi pada tahun 2022 sebanyak 54,75 juta ton, cenderung stagnan jika dilihat dari tahun sebelumnya 54, 42juta ton, bahkan produksinya lebih kecil dari tahun 2018 sebanyak 59 juta ton, jika dikonversikan menjadi beras, jumlah beras yang diproduksi sekitar 31, 54 juta ton (2022) sedangkan tahun sebelumnya sebesar 31, 36 juta ton (2021). sedangkan jumlah konsumsi beras sebanyak 30,2 juta ton tahun 2022 dan 30,04 juta ton pada tahun 2021.
Sekalipun jumlah produksi lebih besar dibandingkan konsumsi, jumlah surplusnya masih sangat rendah dan surplusnya bukan setiap waktu, hanya pada saat panen raya. Jadi, setelah panen raya atau ketika para petani sudah penanaman ulang jumlah stok sangat rentan.
*Kesejahtraan Petani
Kesejahteraan masyarakat petani merupakan isu yang selalu digaungkan dari tahun-tahun lampau, tetapi masalah kesejahteraan petani tak kunjung terselesaikan. Jika dibandingkan dengan sektor-sektor pekerja lainnya, maka kita akan mendapatkan petani yang paling banyak menyumbang angka kemiskinan.
Ada sekitar 13 juta orang dari 26 juta penduduk miskin merupakan petani, padahal sektor pertanian menyerap hampir sepertiga jumlah angkatan kerja, sebanyak 40,69 juta orang atau 29,36% (Februari 2023). Selain itu, berdasarkan kepemilikan lahan kebanyakan petani kita, lahan yang mereka kelola relatif sempit.
Masalah kepemilikan lahan merupakan hal yang krusial dihadapi oleh para petani, sekitar 60% petani mengelola kurang dari stengah hektare. Selain lahan yang mereka kelola cenderung sempit, petani juga selalu mengalami perampasan lahan oleh pemilik kapital besar. Kehadiran Negara dalam hal ini pemerintah seharusnya menjadi pelindung bagi masyarakat kecil.
Negara dan bangsa ini tidak akan berpendapatan tinggi, jika petani kurang mendapatkan perhatian yang serius oleh pemangku kebijakan, untuk itu masalah kesejahteraan petani akan terwujud jika pemerintah bersinergis untuk meningkatkan SDM para petani melalui pendidikan, mempebaiki terkait kepemilikan lahan, dan mendorong teknologi Industrialisasi di sektor pertanian, (Redaksi/**).