MM, Makassar – Menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia ke-80, publik disuguhkan dengan wacana yang menarik dari pemerintah. Atas instruksi Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, diluncurkan gagasan pendirian “Sekolah Rakyat”. Sebuah program yang diklaim untuk mewujudkan amanah Undang-Undang, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Namun, muncul pertanyaan kritis: Apakah sekolah-sekolah negeri yang selama ini dikelola langsung oleh pemerintah bukanlah “sekolah rakyat”? Bukankah 100% biaya pembangunan, operasional, serta gaji guru di sekolah negeri ditanggung oleh negara—yang sumber dananya berasal dari pajak rakyat?
Jika kini didirikan “Sekolah Rakyat” secara khusus, maka logikanya, sekolah-sekolah negeri yang ada bisa saja dianggap sebagai “sekolah penguasa”. Mengapa tidak sekalian saja diganti namanya agar publik dapat membedakan antara sekolah untuk rakyat miskin dan sekolah bagi anak-anak elite birokrasi dan pejabat?
Secara tidak langsung, wacana ini membuka celah munculnya pengelompokan pendidikan di Indonesia. Kini, kita berpotensi memiliki tiga jenis sekolah: sekolah negeri, sekolah rakyat, dan sekolah swasta. Belum lagi jika mengingat realita bahwa sekolah swasta sendiri sudah terbagi antara yang “murah untuk kaum miskin” dan yang “unggulan untuk kaum berada”, bahkan sebagian menyandang label elite berbasis simbol-simbol keagamaan.
Jika semangat dari Sekolah Rakyat ini benar-benar untuk keadilan pendidikan, mengapa tidak diberlakukan kebijakan yang lebih solutif? Misalnya, mewajibkan setiap sekolah negeri menerima kuota minimal siswa dari keluarga kurang mampu. Dengan cara ini, inklusi sosial dalam pendidikan dapat diwujudkan tanpa harus mendirikan institusi baru yang berpotensi diskriminatif secara identitas sejak dari nama.
Lebih jauh, sejarah pendidikan di Indonesia juga memberi pelajaran penting. Banyak sekolah negeri justru tidak mendapat dukungan memadai dari pemerintah: dari fasilitas yang rusak, ruang kelas yang panas, tenaga pengajar yang belum tersertifikasi, hingga gaji guru honorer yang jauh dari kata layak. Lantas, bagaimana nasib “Sekolah Rakyat” ke depan?
Jangan sampai keberadaan Sekolah Rakyat sekadar menjadi instrumen politis jangka pendek. Jika demikian, bukan tidak mungkin sekolah-sekolah ini hanya akan bertahan selama masa jabatan Presiden Prabowo. Setelah itu, ia mungkin akan hilang tanpa jejak, seperti kebijakan populis lain yang lahir dari gimik tanpa visi jangka panjang.
Akankah Sekolah Rakyat benar-benar menjadi solusi berkelanjutan bagi pendidikan masyarakat miskin, atau justru menjadi simbol baru dari pengelompokan sosial dalam dunia pendidikan?
Waktu yang akan menjawabnya.
Penulis : Ibrahim Syah, pemerhati dan praktisi pendidikan di Makassar






